Random

Borneo on my memo

 

Borneo. Alamnya terbentang luas dan kaya. Dari bandara Syamsudin Noor menuju hotel dekat dengan site project kami di daerah Tapin.  Sepanjang sore mobil kami bergerak menelusuri jalanan provinsi yang tak begitu banyak kelokannya. Jalanannya rata dan aman-aman saja. Hari pertama saja sudah membuat.. entahlah terasa sedih dan terdiam sejenak. Kuliahat sepanjang jalan alur-alur air dan rembesan-rembesan air dijalan seperti ada jalur pipa PDAM yang mungkin bocor. Awalnya kucoba berpikir positif. Tapi mataku kini sudah tak mau berkompromi. Terlalu banyak. Sepanjang jalan ada saja genangan airnya. Padahal tidak terlihat bekas hujan sedikit pun. Aku mencoba berpikir lagi mungkinkah memang begini tekstur dan sifat tanah gambut atau rawa? Tapi aku tak tahan. Aku bertanya pada semua orang didalam mobil yang aku tumpangi. Salah satu temanku yang asli dari sana menjelaskanku bahwa “Itulah efek dari penambangan batu bara Hil. Air dari hulu tak ada yang menahannya. Bukit-bukit yang tadi ada pohon-pohonnya sudah di keruk”. Aku menelan ludah dan hening. Kuabaikan pemikiranku yang terlalu naif. Kucoba melihat sekelilingku. Manusia-manusia disini juga sedang berusaha beribadah dengan bertahan hidup dan memanfaatkan anugerah dari Tuhan ini. Bukankah ini yang Tuhan juga mau? Agar mahluk ciptaannya yang sempurna ini menggunakan pikirannya badannya atau daya ciptanya untuk beribadah berikhtiar diatas hamparan bumi ini dengan sumber daya yang sudah tersedia ini. Memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kebaikan bersama. Berjuta-juta manusia bergantung pada sumberdaya ini. Aku terbayang cerita-cerita rekan kerjaku yang tertawa sumringah dengan bangga menceritakan ia baru saja hadir diacara wisuda anaknya. Beberapa dari mereka sedang berbahagia karena mendapat tambahan bonus dari perusahan hingga dapat menunaikan hajat-hajat mereka. Umrah. Menikah. Jalan-jalan keluar negeri. Bersedekah. Berbagi dengan kaum miskin dan duafa. Kalau tidak karena ini semua pengharapan mereka menjadi lebih kecil. Aku hanya menatap melempar pandangan keluar jendela. Aku sudah tak mengamati apapun lagi. Hanya pandangan hampa hijau-hijau daun, rumah-rumah penduduk kemudian menjadi semakin senja dan gelap.

Hari berikutnya aku melihat pemandangan yang membuat hati naifku ini meringis lagi. Pemandangan menuju area tambang batu bara yang membuatku terpejam sejenak dan mencoba berpikir lebih terkendali. Disepanjang jalan diatas mobil. Apa yang aku lihat ini? Apa yang manusia-manusia ini lakukan pada alam ini? Mengapa aku begitu naif dan melankolis melihat hal ini. Kumelihat mereka rekan-rekanku menjelaskan area-area tambang dengan begitu antusias sebagai tour guideku hari itu dan terlihat begitu percaya diri gerak tubuh mereka menjelaskan bahwa lihatlah kami anak bangsa ini tercipta untuk medan ini. Lihatlah apa yang kami lakukan untuk negara ini. Aku hanya sedikit merasa tergelitik ketika mengingat salah seorang temanku seorang pegawai dipemerintahan kota di Kalimantan ini begitu anti dengan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang ia hujat-hujat sebagai biang kerok kerusakan alam ditanah tempat ia berpijak ini. Ia terlihat membencinya. Tapi aku tak mendebatnya. Karena seekor bekantan pun paham ABPD Kalimantan datang dari bembabatan jatah makan generasi mereka. Memangnya darimana gaji PNS disana datang? Aku juga membenci hal ini tapi tak benar kalau aku benar-benar membencinya.

Melihat alam dan kehidupan sosial ini sudah membuatku belajar suatu hal dalam berfikir. Semoga pemerintah dan pengusaha-pengusaha bisa lebih bijak lagi dengan hak-hak alam setelah mereka menunaikan hak-hak mereka atas alam. Semua harus ada timbal baliknya. Dan tak usah sok pintar. Serakus-rakurnya manusia tak ada ingin terbakar dimusim kemarau, dan tergenang dimusing penghujan. Mereka pasti akan berkembang biak. Jadi mereka mengerti bagaiana peranan mereka sebagai unsur pengendali. Meraka akan membuat kebijakan tersebut.

Aku kadang juga tergelitik mengenang diri yang pernah menghujat para manusia yang membuaka lahan untuk kelapa sawit yang dampaknya membuat bencana alam. Waktu itu menjadi cemooh kami didapur kostan saat menuang minyak goreng berlogo seperti pohon palem. Atau di kamar kostan sambil berbagi alat kosmetik yang bahannya dari ah sudahlah… aku hanya ingin tertawa dengan masa itu. Aku pun menertawakan diriku yang sekarang. Kemana independensi yang berkobar dahulu saat dibangku kuliah? Dimana serapah dahulu untuk para pengusaha yang tak bertanggung jawab? Baru kini aku faham bahwa hidup ini tak semudah menjadi mahasiswa yang uangnya dari kantong orang tua.

Begitulah opini gue tentang apa yang aku tangkap selama di Borneo.

Tak banyak jalan-jalan disana karena memang kami kesana untuk kerja bukan wisata. Tapi pasti ada saja hal yang menarik seperti kehidupan sosial yang berbeda yang kita lihat atau rasakan. Bahasa daerah yang paling berkesan adalah kata ini “kadada” yang artinya tidak ada. Makanan yang berkesan itu “kupat kandangan” adalah seperti lontong sayur tapi pakai ketupat tapi beras ketupatnya dibuat berserak teksturnya alias tidak padat dimakan dengan gulai ikan haruan. Dan makannya harus banget pake tangan. Karena tastenya emang disitu. Makanan berkuah tapi pakai tangan. Kalian harus coba.

Akhirnya Go Live Project.

 

 

 

 

 

 

This slideshow requires JavaScript.

Leave a comment