Book and Movie

Hola….

[update 31.12.22]

Haha, being consistent in writing seems difficult, right? It’s more about not being in the mood often. Hmmm. Oh, by the way, in 2022, I have a personal program for myself, which is to read books. One month, one book. So here, I will keep updating the books that I have read and maybe include the highlighted quotes from each book I read. 🦋

  1. Januari ⤕ Atomic Habit by James Clear
  2. Februari ⤕ The Poppy War by R. F. Kuang
  3. Maret ⤕ Emotional Intelligence by Daniel Goleman
  4. April ⤕ The Dragon Republic by R. F. Kuang
  5. Mei ⤕ Bicara Itu Ada Seninya by Oh Su Hyang
  6. Juni ⤕ Range by David Epstein
  7. Juli ⤕ Why We Sleep by Matthew Walker
  8. Agustus ⤕ Yang Belum Usai by pijarpsikologi.org
  9. September ⤕ Asyiah by Sibel Eraslan
  10. Oktober ⤕ Blink by Malcolm Gladwell
  11. November ⤕ Mendaki Tanggak yang Salah by Eric Barker
  12. Desember ⤕ Hidup Minimalis Ala Orang Jepang by Fumio Sasaki

Book and Movie

➴Atomic Habits

Oke buku ini bikin saya ngereview ulang tatanan jadwal dan prioritas hidup saya. Beberapa hal bisa jadi koreksi buat saya untuk memperbaiki apa yang kurang dan bahkan tidak baik yang saya masih lakukan dalam hidup. Dan membuat saya lebih semangat mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik yang umurnya basih seumur jagung tapi sudah berasa manfaatnya namun selalu ada godaan untuk break it. Buat saya buku-buku motivasi diri semacam ini baik banget sebagai pengingat. Rekomended banget dah biar kita bisa terus maju dan productive. Moreover keterkaitannya dengan pekerjaan saya sebagai project manager, banyak hal yang perlu saya perbaiki dan pertimbangkan agar bisa lebih well well plan. Karena walaupun memang ujung-ujungnya Tuhan yang punya kehendak, tapi rencana yang baik itu ada termasuk suatu proses yang pasti selalu ada dampak baiknya. Bisa membuat kita selalu lebih siap. Ini buku bisa bantu kita menjadi lebih terstruktur lebih runcing dalam membidik target-target yang ingin kita capai.

Book and Movie

Homo Deus

 

20190201_0106045b15dTelah habis kubaca malam ini buku yang kubeli sebulan yang lalu. Karena sekarang  gak banyak waktu luang untuk menyempatkan diri membaca. Karena typically banget gue orang yang gak bisa berhenti kalo udah mulai baca. Ini buku emang udah jadi list hunt gue udah lama.

Gue adalah orang yang membaca buku “karena penulisnya”.  Gue selalu mengukur intelektualitas bahasa-bahasa, kajian pemaparan dari maksud yang ingin disampaikan si penulis. Gue juga orang yang akan bikin barrier ketika siap-siap membaca buku dari penulis liberal atau nyeleneh. Tapi sumpah gue pasti tetap baca kok kalau penulisnya jenius!! Karena bahasa orang jenius itu unik dan bernyawa.

Oke intinya ini buku ditulis oleh seorang penulis Yahudi yaitu Yuval Noah Harari (kalau yang belum tahu dia siapa searching google aje), ini buku lama sebenernya 2015. Buku ini berdesas desus release ketika waktu itu gue lagi intents baca “Zealot” -Reza Aslan.

Seperti biasa metode baca gue emang “asas praduga bersalah” atau judgment lebih awal ketimbang memutihkan pikiran untuk menerima isi pikiran manusia. Kalau kalian tahu siapa seorang Yuval Noah Harari untuk kebanyakan orang Indon jaman sekarang ini sih langsung gak akan mau baca buku ini. Karena gue gak tau ya.. nuansa  pikiran manusia-manusia di Indon jaman ini kek punya warna yang jelas aja. Bukan warna-warna pastel atau warna-warna yang kalian gak kenal. Udah jelas sekai penggolongan orang-orang jaman ini. Especially in Indon ya.

Sebenernya gue udah bisa tebak arah dari isi buku ini. Melihat dari sosiologi penulis dan penegasan yang menggelitiknya. “Eh sadar gak sih kamu blablabla…” khas memang ulasan genre buku filsafat.  Sejauh ia memaparkan sejara-sejarah dan bagaimana ia mengulas kehidupan yang merupakan algorima. Gue rasa gak butuh kejelian khusus untuk menerima yang ingin ditonjolkan atau menyadarkan kita bahwa hey apakah kamu tau? Atau sudah sadar kah kamu? Apa kamu sepikiran gak sama aku, kalau satu faham yang sudah ada kini semakin cocok dan menguat di era ini. Faham itu adalah faham “HUMANISME”. Beriring usia bumi ini dan segala sejarahnya. Homo sapiens ini telah mencicipi berbagai macam bumbu-bumbu ideologi untuk bisa mempertahankan peradaban. Tapi saat ini manusia sudah mulai membuka ruang untuk faham ini, yang sebentar lagi akan dibagikan kesetiap darah baru hingga merasakan segarnya “humanisme”. Tak bisa ditolak, walau menyangkal dalam-dalam. Karena yang sedang sakau akan faham ini adalah manusia itu sendiri. Faham ini absolute bisa masuk disetiap sendi-sendi manusia dari ras apapun. Sebentar lagi, orang-orang sudah akan meninggalkan demokrasi, kapitalis, agama, dan faham-faham yang sudah usang dan tidak bertahan melawan perubahan zaman.

Dan kalau dipikir-pikir gue hanya ingin menimpali. “Noah! iya gue juga mulai merasakan hal yang sama. Di belahan bumi tempat gue berpijak juga gue mulai merasakan hal yang sama. Hampir mulai jelas gaungnya suara-suara atas nama humanisme itu menggugah di segala arah. Bahkan last last UU Penanganan Konflik Sosial yang baru saja di sahkan oleh wakil-wakil rakyat Indo di Senayan. Ini adalah bentuk dari humanisme yang kamu maksud itu sudah mulai mengrogoti. Seperti jamur di tempat yang lembab. Fungisidanya hanya orang-orang yang fanatik yang sebentar lagi akan luntur dan bertekuk karena termakan jamur humanisme itu sendiri. Atas nama kemanusiaan… kamu tidak dapat menyiksa perasaan seorang laki-laki  yang mencintai laki-laki lain halnya kamu tidak bisa menyiksa seseorang yang ingin mencintai Tuhannya”. Seperti itulah…

Baiklah. Sekian dulu udah jam 2:03 pagi, besok kerja.  Bye…