Telah habis kubaca malam ini buku yang kubeli sebulan yang lalu. Karena sekarang gak banyak waktu luang untuk menyempatkan diri membaca. Karena typically banget gue orang yang gak bisa berhenti kalo udah mulai baca. Ini buku emang udah jadi list hunt gue udah lama.
Gue adalah orang yang membaca buku “karena penulisnya”. Gue selalu mengukur intelektualitas bahasa-bahasa, kajian pemaparan dari maksud yang ingin disampaikan si penulis. Gue juga orang yang akan bikin barrier ketika siap-siap membaca buku dari penulis liberal atau nyeleneh. Tapi sumpah gue pasti tetap baca kok kalau penulisnya jenius!! Karena bahasa orang jenius itu unik dan bernyawa.
Oke intinya ini buku ditulis oleh seorang penulis Yahudi yaitu Yuval Noah Harari (kalau yang belum tahu dia siapa searching google aje), ini buku lama sebenernya 2015. Buku ini berdesas desus release ketika waktu itu gue lagi intents baca “Zealot” -Reza Aslan.
Seperti biasa metode baca gue emang “asas praduga bersalah” atau judgment lebih awal ketimbang memutihkan pikiran untuk menerima isi pikiran manusia. Kalau kalian tahu siapa seorang Yuval Noah Harari untuk kebanyakan orang Indon jaman sekarang ini sih langsung gak akan mau baca buku ini. Karena gue gak tau ya.. nuansa pikiran manusia-manusia di Indon jaman ini kek punya warna yang jelas aja. Bukan warna-warna pastel atau warna-warna yang kalian gak kenal. Udah jelas sekai penggolongan orang-orang jaman ini. Especially in Indon ya.
Sebenernya gue udah bisa tebak arah dari isi buku ini. Melihat dari sosiologi penulis dan penegasan yang menggelitiknya. “Eh sadar gak sih kamu blablabla…” khas memang ulasan genre buku filsafat. Sejauh ia memaparkan sejara-sejarah dan bagaimana ia mengulas kehidupan yang merupakan algorima. Gue rasa gak butuh kejelian khusus untuk menerima yang ingin ditonjolkan atau menyadarkan kita bahwa hey apakah kamu tau? Atau sudah sadar kah kamu? Apa kamu sepikiran gak sama aku, kalau satu faham yang sudah ada kini semakin cocok dan menguat di era ini. Faham itu adalah faham “HUMANISME”. Beriring usia bumi ini dan segala sejarahnya. Homo sapiens ini telah mencicipi berbagai macam bumbu-bumbu ideologi untuk bisa mempertahankan peradaban. Tapi saat ini manusia sudah mulai membuka ruang untuk faham ini, yang sebentar lagi akan dibagikan kesetiap darah baru hingga merasakan segarnya “humanisme”. Tak bisa ditolak, walau menyangkal dalam-dalam. Karena yang sedang sakau akan faham ini adalah manusia itu sendiri. Faham ini absolute bisa masuk disetiap sendi-sendi manusia dari ras apapun. Sebentar lagi, orang-orang sudah akan meninggalkan demokrasi, kapitalis, agama, dan faham-faham yang sudah usang dan tidak bertahan melawan perubahan zaman.
Dan kalau dipikir-pikir gue hanya ingin menimpali. “Noah! iya gue juga mulai merasakan hal yang sama. Di belahan bumi tempat gue berpijak juga gue mulai merasakan hal yang sama. Hampir mulai jelas gaungnya suara-suara atas nama humanisme itu menggugah di segala arah. Bahkan last last UU Penanganan Konflik Sosial yang baru saja di sahkan oleh wakil-wakil rakyat Indo di Senayan. Ini adalah bentuk dari humanisme yang kamu maksud itu sudah mulai mengrogoti. Seperti jamur di tempat yang lembab. Fungisidanya hanya orang-orang yang fanatik yang sebentar lagi akan luntur dan bertekuk karena termakan jamur humanisme itu sendiri. Atas nama kemanusiaan… kamu tidak dapat menyiksa perasaan seorang laki-laki yang mencintai laki-laki lain halnya kamu tidak bisa menyiksa seseorang yang ingin mencintai Tuhannya”. Seperti itulah…
Baiklah. Sekian dulu udah jam 2:03 pagi, besok kerja. Bye…
Dan seberpolusi itu.